Teknik pelaksanaan dapat dibagi menjadi tiga poin
utama yakni Program, Akses, dan Edukasi.
1. Program
Ø Indonesia
sangat beruntung sejatinya sudah memiliki program yang sangat rapi dari
Kementrian Kesehatan (Kemenkes). Kalau bingung, kenapa ada yang 0,1,2,3,4,9
bulan dana ada yang 0,2,4,6,9 bulan jadwalnya, itu sebenarnya simple. Yang
pertama itu program dari Kemenkes, yang kedua itu patokannya IDAI (Ikatan
Dokter Agung Indonesia).
Ø Jadi,
pemberian vaksin itu sebenarnya ada jangka waktunya. Jadi kedua jadwal tersebut
boleh digunakan karena masih dalam range waktunya. Nah yang Kemenkes kan memang
tampak lebih mudah, tinggal tiap bulan datang ke fasilitas kesehatan. Karena
itu, untuk memperluas cakupan juga, biasanya digunakan jadwal Kemenkes.
*) Sekarang juga sedang digalakkan sertifikasi
imunisasi sebagai syarat untuk
masuk SD,lho!!!
2. Akses
Ø Sebenarnya
program imunisasi ini sudah dapat ditemukan di berbagai tempat, anatara lain
RS, Puskesmas, dan Posyandu, bahkan klinik bidan untuk memperluas cakupan. Jadi
di tempat- tempat inilah, biasanya melakukan pencatatan rutin untuk imunisasi.
Nah, hasil pencatatannya dibawa ke puskesmas kecamatan setempat untuk mendapat
sertifikasi.
3. Edukasi
Ø Nah untuk
edukasi, memang sejauh ini lebih banyak yang turun tangan adalah bidan, kalau
di puskesmas. Stok dokter terbatas, jadi dokternya ada di poli-poli lain,
sementara bidan yang mengedukasi, menyuntik, dan melakukan pencatatan. Jadi
edukasinya mungkin tidak semendetail dokter, namun dapat dikategorikan baik.
Ø Nah, konflik
di lapangannya seperti apa? Tentu masih banyak wilayah yang belum banyak
cakupan imunisasinya. Contoh, KLB Difteri di Padang. Permasalahannya simple,
imunisasi tidak lengkap.
Ø Rata-rata
permasalahan untuk kasus imunisasi tidak lengkap, antara lain:
- Percaya
mitos, misalnya Vaksinasi MMR menyebabkan autisme.
- Menganggap
agamnya tidak memperbolehkan vaksinasi.
- Orangtuanya
sibuk.
- Merasa tidak
tahu bahwa imunisasi sebegitu PENTINGNYA..
Ø Nah baru ada
di Jakarta 2015, terkenal dengan kutipan mautnya: “Untuk itu, kami membuat
program ketuk pintu layani hati. Kalau ketemu wanita usia subur, kita akan cek
IVA. Apabila ada bayi imunisasi, kalau ada lansia kita lanjutkan program
disitu. Warga Jakarta yang belum memiliki BPJS, kita akan kasih. Harapan kami,
semuanya jadi data.” – Kepala Dinkes Jakarta.
Pertanyaan-pertanyaan
yang terkumpul antara lain:
1. Bagaimana cara
mengajak para ibu dan bapak di perkotaan besar untuk kondisi lapangan?
2. “Anak saya ga pernah divaksin sehat-sehat saja sampai
sekarang.” Sebenarnya vaksin itu perlu atau tidak?
3. Apakah ada
vaksin generic (mengingat ada obat-generik)?
4. Apakah vaksin
yang mahal dan murah dibedakan dengan efeknya setelah divaksin? (Yang mahal
berarti less-toxin, jadi efek demamnya gak separah yang murah. Katanya yang
murah dosis toksinnya lebih tinggi jadi memicu imunnya,)
5. Layanan
vaksinasi gratis hanya diberikan oleh pemerintah lewat puskesmas dan posyandu,
bukan RS?
6. Bagaimana
dengan vaksin yang tidak diwajibkan namun penting semisal HPV untuk perempuan,
adakah trik khusus untuk mengedukasi sasaran atau target? Apa pemeran
pemerintah dalam vaksin non wajib tersebut?
7. Apakah vaksin
berpengaruh terhadap otak anak?
8. Ada 2 jenis
vaksin yang diberikan, yakni “whole pertussis” dan “half pertussis” yang lebih
mahal karena akan mengurangi efek samping vaksin DPT itu sendiri. Yang dimaksud
dengan keduanya itu apa? Apakah bagian dari bakteri pertussisnya diambil
sebagian atau seluruhnya atau bagaimana?
Poin-poin penting yang terangkum:
a) Menjelaskan
secara riil tentang manfaat vaksinasi itu tantangan.
·
Berhubungan dengan kesenjangan tinggi, kesibukan masyarakat
ekonomi kelas menengah ke bawah di kota besar banyak berkisar berdagang
atau mengurus anak. Tugas kita adalah mensosialisasikan
algoritma bagaimana cara vaksinasi anak,
yang teknisnya banget, misal dengan mencantumkan foto-foto bayi Indonesia
yang terkena campak (se-riil mungkin), maupun memberikan gambaran berupa
pengalaman orang lain.
·
Kalau untuk masyarakat ekonomi menengah ke atas,
gengsi yang tinggi, malu kalau anaknya tidak diimunisasi justru membuatnya
tidak menjadi halangan untuk diberikan promosi vaksinasi.
·
Keuntungan vaksinasi:
1. Rata-rata
85-0% bisa mencegah terkena penyakit infeksi yang PALING MEMBAHAYAKAN untuk
anak.
2. Kalau anak
terkena penyakitnya, infeksinya tidak seberat TIDAK DIVAKSIN.
3. Semua hal itu
dapat didapatkan secara gratis di posyandu dan puskesmas. RSUD masih gratis,
yang berbayar hanyalah RS Swasta.
*) Bentar lagi Serifikat Imunisasi menjadi prasyarat
masuk SD.
b) Semua
vaksin mau yang generic atau paten memiliki EFEKTIVITAS SAMA.
·
Ingat 3 hal di awal tadi, yakni program, akses, dan
edukasi. Program imunisasi sendiri ada yang drai Pemerintah dan rekomendasi
IDAI. Namun untuk pelaksanaannya lebih banyak dipakai punya pemerintah karena
setiap bulan pasti ada jadwalnya, jadi lebih mudah untuk orangtua. Kemusian
untuk aksesnya sendiri mungkin bisa dilihat dari ketersediaan di fasilitas
kesehatannya. Vaksinnya ada di posyandu dan puskesmas (untuk yang gratis dari
pemerintah) dan di RS Swasta berbayar. Semua vaksin mau yang generic atau paten
memiliki EFEKTIVITAS SAMA. Jadikan itu pegangan kita saat akan melakukan
tahapan yang ketiga yaitu Edukasi.
c) Tidak
ada pemakaian kata “Less Toxin” dalam vaksin
·
Beda generic dan paten secara jelas adalah yang HiB.
Untuk yang paten, ada paketan HiB dengan DPT, jadi sekali suntik cukup.
Hati-hati dengan pemakaian kata less-toxin. Kalau terlalu less toxin, bisa
memunculkan argument, “Jangan-jangan ini jadi lebih rendah dalam memacu
kekebalan tubuh ya?”
d) Vaksin
non-wajib
·
Peran pemerintah terhadap vaksin non-wajib adalah
menggencarkan pada kelompok berisiko. Misal, HPV sering dilakukan edukasi ke
ibu-ibu PKK untuk vaksin ini, supaya mereka memberitahukan pada warga-warganya.
*menggencarkan promosi. Segala imunisasi yang ada di Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS), HPV, TT adalah yang paling sering ditemui di lapangan.
·
Trik khusus untuk mengedukasi perihal ini: Sejauh ini,
yang jadi masalah hanya kendala biaya vaksin, sisanya sebenarnya sudah cukup
bagus edukasinya dari para penyuluh.
e) Risiko
Vaksin terhadap otak
·
PCV (Pneumococcal vaccine) Vaksin adalah vaksin yang
infeksinya luas dan dapat berisiko menyebabkan meningitis yaitu peradangan pada
selaput otak. [Keterangan lebih lanjut: baca di table IDAI, “PCV”.]
f) “Whole
pertussis” dan “half pertussis”
·
DTP-a KIPI-nya lebih sedikit karena aselular,
sementara DTPw atau whole itu mengandung kuman pertussis utuh. Efektivitasnya
tetap- SAMA.
g) Trik
Mengedukasi: Jangan mau kegiring pasien!
·
Kunci utama: harus selalu ingat bahwa vaksin baik
generic maupun paten, baik whole pertussis maupun half pertussis, EFEKTIVITAS SAMA.Tanya jawab seputar vaksinasi:
1. Menurut kawan-kawan jaman sekarang sebenarnya
bagaimana sih akses untuk vaksin sendiri di lingkungan tempat tinggal kalian?
2. Bagaimana tanggapan peserta mengenai “Anak tidak
divaksin lebih sehat, vaksin itu haram”?
3. Kalau system imunnya dari individu itu berbeda, nanti
apakah tindakan vaksinasi itu juga berbeda?
4. Sejauh ini vaksin belum ada generiknya ya?
5. Jadwal imunisasi juga kan ada yang berbeda ya? Dari
IDAI sama pemerintah? Itu keduanya gapapa? (*IDAI= Ikatan Dokter Anak Indonesia)
6. Kenapa bisa ada vaksin dengan dosis yang berbeda?
Terfikir gak sama teman-teman, karena dari tadi kan alasannya lebih murah dan
lebih mahal dengan efek mnimal. Seharusnya, menurut teman-teman gimana? Asas
adilnya tercapai gak buat masyarakat?
7. Di materi 1, ditulis ada perbedaan jadwal vaksinasi
antara bayi yang lahir di RS sama rumah, kenapa ya? Ada yang tahu?
8. Kalau misalkan teman-teman berhadapan dengan ibu-ibu
yang menolak vaksin, apa yang akan kalian lakukan?
9. Menurut kalian, seberapa efektif penyuluhan yang
dilakukan sama petugas kesehatan di daerah kalian saat ini?
1. Poin permasalahan
yang ditemukan sejauh ini (berdasarkan pendapat teman-teman) mengenai akses
vaksinasi adalah:
1) Tempat penyimpanan jauh.
2) Tidak semua puskesmas memiliki akses vaksin atau
pelayanannya.
3) Petugas kurang promotif sehingga masyarakat kurang
tahu.
4) Pendapat kurang tepat di masyarakat (Anak tidak
divaksin lebih sehat, Vaksin itu haram.)
2. Pendapat yang
sering diajukan oleh masyarakat yang tidak mau divaksin:
1) Anak tetap jadi panas setelah divaksin.
2) Haram
3) Anak tetap sehat tanpa divaksin.
3. Mahal murahnya vaksin juga dapat dilihat dari seberapa
besar efek samping yang ditimbulakn seperti efek samping( demam) sedikit, kalau
murah hasilnya dmam. Hal ini disebabkan perbedaan dosis penyuntikan.
4. Kenapa terjadi demam setelah vaksinasi? Karena ada pathogen
yang dimasukkan ke dalam tubuh dan tubuh berekasi untuk melawan pathogen
tersebut.
5. Vaksin yang mahal itu mengandung virus yang lebih kuat
namun dengan jumlah yang sedikit sehingga efek demamnya sedikit.
6. Adanya perbedaan jadwal vaksinasi antara bayi yang
lahir di RS sama di rumah supaya si ibu yang melahirkan bayi di RS tidak lupa
untuk melakukan vaksinasi. Selain itu, kalau di rumah, mungkin karena
kondisinya, kurang memungkinkan dan si petugas kesehatannya tidak membawa
vaksin yang bulan pertama karena prioritasnya adalah menolong orang, jadi yang
diberi cuman yang 0 bulan.
7. Bilamana berhadapan dengan ibu-ibu hendaknya dilakukan
edukasi penyuluhan yang baik kepada ibu-ibu tersebut, petugas kesehatan, maupun
tokoh masyarakat seputar pembahasan masalah vaksin, manfaat dan resiko bilama
tidak dilakukannya vaksin, serta pentingnya vaksin itu sendiri ,bila perlu
disertai bukti yang jelas dan konkrit.
8. Kapasitas sebagai mahasiswa gak hanya berilmu dan
memiliki idealism, kawan-kawan bisa manfaatin pengetahuan tersebut untuk
menyebtuk masyarakat melalui informasi yang dikemas secara menarik. Dengan
begitu, masyarakat akan dapat info terpercaya langsung dari anak-anak
kedokteran daripada membaca blog yang kadang infonya bikin sesat. Intinya,
bagaimana caranya kita mengemas info terpecaya tersebut dengan menarik dan
mudah dimengerti orang awam.
Tunggu apa lagi segera daftarkan diri anda di
ReplyDeleteROYALQQ.POKER
Jalan menuju kemenangan hanya ada di ROYALQQ.POKER