Welcome, dear fellows!

Welcome!
Feel free to surf the highlighted knowledge of biology.Wish you bunch of luck.
:)

Translate

Wednesday, 25 March 2015

9 Hal yang Wajib Kamu Tahu Jika Bermimpi Kuliah di Jurusan Pendidikan Dokter

Pada faktanya, Fakultas Kedokteran — khususnya Jurusan Pendidikan Dokter– memang selalu menjadi primadona di setiap universitas negeri maupun swasta di Indonesia. Para calon mahasiswa berbondong-bondong mendaftarkan dirinya ke Jurusan Pendidikan Dokter dengan beragam alasan : karena memang ingin jadi dokter, biar keren, asal aja karena bingung mau masuk jurusan apa, dan  disuruh orang tua (ini banyak!).
Ada beragam alasan yang jadi motif para calon mahasiswa untuk mendaftar ke Fakultas Kedokteran, tapi sayangnya masih banyak yang memilih untuk kuliah di jurusan ini tanpa memikirkan tentang proses-proses yang akan dihadapi selama menuntut ilmu di sini.
Nah, jika kamu adalah salah satu orang yang berniat untuk kuliah di Jurusan Pendidikan Dokter, berikut ini adalah beberapa informasi yang bisa menambah wawasanmu tentang jurusan yang termasuk favorit ini. Seperti apa sih proses pendidikan demi mendapatkan titel “Dokter” itu?


1. Masuk FK itu kombo susahnya. Biayanya mahal, kamu yang punya niat besar pun harus siap gagal

Cukup untuk beli mobil sejuta umat

Fakta yang satu ini sepertinya sudah diketahui oleh masyarakat luas. Ya, orang tua harus menyediakan uang ratusan juta rupiah untuk menyekolahkan anak tersayangnya di Fakultas Kedokteran dengan harapan akan anaknya bisa lulus menjadi seorang dokter.
Fakta satu ini berlaku khususnya untuk universitas swasta, tetapi perlu diketahui apabila masuk FK di universitas negeri dengan jalur mandiri pun biayanya hampir sama hanya beda tipis.
Namun jika kamu bisa lolos seleksi melalui jalur SBMPTN, biaya untuk masuk di Fakultas Kedokteran masih terjangkau, tetapi ini juga tergantung pada kebijakan tiap-tiap universitas. Bukan cuma soal biaya saja, perkara persaingan masuk ke FK juga bukan perkara mudah. Saingannya bok….liat aja udah mules.


2. Demi bisa menyandang status mahasiswa Fakultas Kedokteran kamu harus siap bersaing dengan ratusan dan bahkan ribuan orang dari seluruh Indonesia

Seleksi mahasiswa yang ketat

Hampir di semua universitas di Indonesia, Fakultas Kedokteran selalu masuk ke dalam 10 besar jurusan yang paling diminati. Udah pasti jumlah pendaftarnyapun bejibun. Terutama untuk Fakultas Kedokterna di universitas negeri, bersiaplah untuk bersaing dengan ribuan orang lainnya!
:)
Tetapi bukan berarti masuk Fakultas Kedokteran di universitas swasta itu mudah dan cuma modal uang aja, lho! Masuk Fakultas Kedokteran swastapun harus menjalani rentetan tes yang nggak gampang. Terbukti banyak calon mahasiswa yang harus tes berkali-kali di FK swasta dan baru bisa keterima. So, adik-adik persiapkanlah dirimu sungguh-sungguh ya!


3. Kesenangan setelah berhasil diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Dokter hanya bertahan sementara. Setelahnya ucapkan selamat datang pada kehidupan mahasiswa FK yang sesungguhnya

sacasca
Selamat datang di dunia Kedokteran. via candidafkhub.blogspot.com
Jika sudah dinyatakan diterima sebagai mahasiswa FK negeri ataupun swasta, SELAMAT! Sesungguhnya perjuangan kalian barulah dimulai. Selama berkuliah di FK  setiap hari kalian akan dituntut untuk belajar dan ditemani dengan berbagai buku-buku dengan ketebalan yang berbeda-beda.
Mulai bersahabatlah dengan tumpukan buku-bukumu, karena merekalah yang akan membantumu untuk bisa melewati berbagai tantangan maupun rintangan selama menjadi mahasiswa Kedokteran!


Sudah diterima, kemudian bisa hidup dengan bahagia? Oh…tidak begitu ceritanya….


4. Berbeda dengan fakultas-fakultas lain pada umumnya yang menggunakan sistem KRS, di Fakutas Kedokteran menggunakan sistem BLOK.

Sistem blok
Sistem blok via fk.unand.ac.id
Fakultas Kedokteran menggunakan sistem blok, jadi tidak ada yang namanya pengisian KRS seperti di fakultas-fakultas lain, karena mata kuliah yang akan kita ambil semua sudah ditentukan pihak kampus. Di dalam 1 blok terdapat bermacam-macam mata kuliah, dengan segala praktikum, tuga,s dan ujian yang berbeda-beda.
1 blok biasanya ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 bulan, dan bisa 7 kali atau bahkan lebih ujian yang harus dijalani,  dari mulai ujian praktikum, skills lab, ujian blok, dan belum lagi nanti ada presentasi dan lain-lain. Dan ini akan terus dihadapin sampe nanti sudah jadi dokter! 


5. Model belajar Program Based Learning (PBL) membuatmu tidak bisa berleha-leha. Malas belajar sedikit, siap-siap saja mati kutu di depan teman satu kelompok

Sistem PBL
Model pembelajaran menggunakan PBL via elearning.yarsi.ac.id
PBL adalah diskusi terarah, kita belajar bersama dengan kelompok kecil dan juga didampingi oleh tutor pembimbing yang akan mengarahkan kita. Di PBL kita akan membahas kasus-kasus yang sering dijumpai di dalam dunia kedokteran.
Sebelum menghadapi PBL, pastinya otak kita harus sudah terisi dulu, karena jika disaat diskusi berlangsung kita hanya diam saja, tutor akan memberi nilai kurang. Setelah kita kupas kasus itu dari segala aspeknya, pertemuan selanjutnya kita diberi tugas untuk membuat makalah lalu mempresentasikannya.
PBL ini akan diakhiri dengan pleno. Dimana pada pleno 1, angkatan berkumpul dan jika kita kurang beruntung, kita harus mempresentasikan materi berdasarkan kasus yang kelompok kita bahas di hadapan para dosen pakar, moderator, dan juga teman 1 angkatan. Presentan akan dipilih secara acak oleh moderator, jadi untuk berjaga-jaga sebelum pleno pun kita harus  BELAJAR (lagi, lagi, dan lagi),


6. Dalam Skills Lab (SL), kamu akan belajar dan berakting menjadi seorang dokter yang sesungguhnya.

pura-pura jadi dokter yang sesungguhnya
pura-pura jadi dokter yang sesungguhnya via fk.unand.ac.id
Di SL ini kamu akan belajar tentang ketrampilan-ketrampilan untuk menjadi seorang dokter, dan disaat ujian kita berpura-pura sudah menjadi dokter.
Jadi, nanti diujiannya ada dokter dan pasien simulasi yang datang dengan keluhan-keluhan, lalu kita harus beraksi entah cek tekanan darahnya atau mungkin harus ada yang dicek dengan cara diinspeksi (lihat), palpasi(sentuh), perkusi (ketuk), auskultasi (dengar), lalu nanti diakhir kamu juga harus memberikan resep obat kepada pasien. Semua ini dilakukan dengan waktu yang sangat minim, waktu yang minim ini melatih kita untuk menjadi dokter yang sigap!
Lalu,ketrampilan-ketrampilan seperti sirkumsisi(sunat), antropometri, dan lainnya juga kita pelajari di SL ini. Dan untuk ujian SL, kamu nggak boleh nggak belajar, kamu benar-benar harus BELAJAR!


7. Setelah melewati ujian SL, kamu akan menghadapi yang namanya Objective Structure Clinical Examination (OSCE).

Ujian OSCE
Ujian OSCE via www.unpad.ac.id
Ujian OSCE ini adalah kumpulan dari semua ujian SL yang sudah dipelajari selama beberapa semester. Prinsipnya sama dengan ujian SL, tetapi jika ujian SL kita hanya mempelajari 1 kasus yang memang sedang kita pelajari di blok tersebut, dalam ujian OSCE kita tidak tahu kasus apa yang akan diuji, jadi mau tidak mau kita harus kerja lebih ektra lagi untuk mempelajari semuanya!
Patinya kamu nggak boleh males untuk BELAJAR! Kenapa harus serius dan benar-benar belajar, karena kalau tidak lulus, kamu harus ngulang lagi, bayar SPP lagi, keluar uang lagi! :(.



8. Setelah kamu berhasil lulus jadi dokter muda, kamu masih harus melanjutkan perjalananmu untuk menjadi dokter yang sesungguhnya melalui KOAS!

fdsdfs
KOAS dulu baru sah jadi dokter! via fk.unand.ac.id
Jika sudah lulus menjadi Sarjana Kedokteran (S.Ked) yang biasa ditempuh paling cepat 3,5 tahun, mahasiswa kedokteran harus mengikuti KOAS di rumah sakit dengan berbagai stase.
Contoh stase yakni anak, kulit kelamin, mata, penyakit dalam, dan lain-lain. Setiap stasenya ada ujian, presentasi, dan lain-lainnya juga, yang pastinya  kamu juga masih harus belajar juga setiap harinya. Oh iya, konon katanya di KOAS ini banyak mahasiswa yang menemukan pasangannya, lho! :D


9. Setelah lulus jadi dokter pun perjuangan belum berhenti. Kamu masih harus berhadapan dengan Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI)!

Ujian Kompetensi
Ujian Kompetensi Dokter Indonesia via ndinandina.wordpress.com
Selesai mengikuti KOAS selama 1,5 tahun (kalau lancar dan tidak ada halangan),  mahasiswa Fakultas Kedokteran masih harus menghadapi Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang akan menentukan kelulusan dan kelayakannya untuk menjadi dokter. UKDI ini semacam UAN, dan pastinya harus BELAJAR BANGET!
Setelah lulus UKDI, seorang dokter juga masih wajib untuk mengikuti internship selama satu tahun, barulah kemudian bisa mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP). SIP ini digunakan sebagai bukti bahwa kamu sudah layak dan bisa membuka praktik secara resmi untuk mengobati para pasien.

Oh iya,  walau sibuk dengan kuliah, anak FK juga tetap harus bersosialisasi. Bergabung dengan kegiatan sosial guna mengasah jiwa empati, sehingga nanti kita bisa menjadi dokter yang memiliki rasa empati yang tinggi.
Semangatlah calon mahasiswa kedokteran, semangat calon teman sejawat! Jika memang cita-cita kalian untuk menjadi seorang dokter kejar dan berusahalah! Jangan khawatirkan tugas, ujian dan apapun rintangannya, kalian pasti akan mampu melewatinya!


Daftar Pustaka
Kontribusi dari |



Thursday, 19 March 2015

Biochemistry and Molecular Biology

dikutip dari http://www.studyat.uwa.edu.au/courses/biochemistry-and-molecular-biology

Introduction

What are genes? How do hormones work? What goes wrong in a cancer cell? These are just some of the questions that biochemists and molecular biologists ask.
Five reasons why studying biochemistry and molecular biology is great:

1. Biochemistry and molecular biology allow us to understand how the natural world works. These disciplines of science give us insights into the mechanisms of evolution, growth, development, reproduction, disease, and senescence.

2. Studying biochemistry and molecular biology trains us to think logically, critically and quantitatively. We learn to evaluate statements made in the scientific literature, as well as in non-science areas, based on evidence, not anecdotes. These tools are highly desired by employers in all employment sectors.

3. Biochemistry and molecular biology offer humankind the tools to improve our quality of life - this may be through the development of a novel drug, the generation of a drought resistant crop plant, or the understanding of what controls an individual’s health.

4. Studying biochemistry and molecular biology is empowering. Being able to make connections between the molecular mechanisms driving a process and the outcomes of those mechanisms on the physiology and/or behaviour of an organism permits a holistic understanding of biological organisation and function – from the molecules to cells, tissues, organs and entire organism. This breadth of knowledge is essential to future discoveries and innovations in all areas of biology, biotechnology, and medicine.

5. Studying biochemistry and molecular biology is exciting, and becomes even more so beyond the BSc when opportunities exist for novel and innovative research. There is nothing as thrilling as seeing a novel result and realising how it extends our knowledge of a bigger biological picture!
 

Course description, features and facilities

Biochemists and molecular biologists are interested in the molecular functions of all living organisms, from the smallest bacterium to the largest whale. In this major, you will study the way molecules are organised and how they interact to achieve the functions of the living cell and that of the organism. Your investigations will cover three main areas: the information stored in DNA; molecular interactions; and how organisms gain and use energy.
To complement your lectures from renowned experts in their various fields, you will have the chance to discuss, apply and expand on the theory of your unit in weekly practical laboratory classes and structured tutorials.

The discipline of Biochemistry within the School of Chemistry and Biochemistry has access to state-of-the-art equipment and facilities for teaching and research in the areas of biochemistry, cell biology, molecular biology, proteomics, metabolomics and transcriptomics. The academic staff of the discipline, together with the Centre of Excellence in Plant Energy Biology, have research expertise in all of these areas. At third year level in particular, students are directly taught in the laboratory practicals by academic staff members. One of the strengths of the Biochemistry and Molecular Biology Major at UWA is the high level of practical laboratory training, coupled with theoretical material presented by experts in each subject.


Schematic relationship between biochemistry, genetics and molecular biology.

Researchers in molecular biology use specific techniques native to molecular biology but increasingly combine these with techniques and ideas from genetics and biochemistry. There is not a defined line between these disciplines. The figure to the right is a schematic that depicts one possible view of the relationship between the fields:
  • Biochemistry is the study of the chemical substances and vital processes occurring in live organisms. Biochemists focus heavily on the role, function, and structure of biomolecules. The study of the chemistry behind biological processes and the synthesis of biologically active molecules are examples of biochemistry.
  • Genetics is the study of the effect of genetic differences on organisms. This can often be inferred by the absence of a normal component (e.g. one gene). The study of "mutants" – organisms which lack one or more functional components with respect to the so-called "wild type" or normal phenotype. Genetic interactions (epistasis) can often confound simple interpretations of such "knockout" studies.
  • Molecular biology is the study of molecular underpinnings of the processes of replication, transcription, translation, and cell function. The central dogma of molecular biology where genetic material is transcribed into RNA and then translated into protein, despite being an oversimplified picture of molecular biology, still provides a good starting point for understanding the field. This picture, however, is undergoing revision in light of emerging novel roles for RNA.
Much of the work in molecular biology is quantitative, and recently much work has been done at the interface of molecular biology and computer science in bioinformatics and computational biology. As of the early 2000s, the study of gene structure and function, molecular genetics, has been among the most prominent sub-field of molecular biology.
Increasingly many other loops of biology focus on molecules, either directly studying their interactions in their own right such as in cell biology and developmental biology, or indirectly, where the techniques of molecular biology are used to infer historical attributes of populations or species, as in fields in evolutionary biology such as population genetics and phylogenetics. There is also a long tradition of studying biomolecules "from the ground up" in biophysics.

 

Tuesday, 17 March 2015

Rous Sarcoma Virus

 
Early Cancer Research on RSV

Sarcoma in chicken

 
Biography of Peyton Rous- first tumor causing --RSV (1911)

The Rous Sarcoma Virus (RSV)

In 1911, Peyton Rous discovered that cancer could be induced in healthy chickens by injecting them with a cell-free extract of the tumor of a sick chicken.
He ground up samples of the tumor and passed the material through a filter with pores so fine that not even bacteria could get through. However, the tumor filtrate was able to induce cancer when injected into chickens.
This was the first demonstration of an oncogenic virus — that is, a virus capable of causing cancer. The tumor was a sarcoma, a tumor of connective tissue. The virus was named the Rous sarcoma virus (RSV).
The Rous sarcoma virus is a retrovirus (as is HIV, the virus that causes AIDS).
Link to RetrovirusesLink to AIDS
The genes of retroviruses are encoded in RNA, not DNA. However, the virus contains a reverse transcriptase, a DNA polymerase that uses RNA as its template.
As soon as RSV infects a cell, its reverse transcriptase synthesizes DNA copies of its genome. These enter the nucleus of the cell and insert themselves randomly throughout the DNA of the host's chromosomes.
Normal gene transcription within the nucleus now produces an RSV messenger RNA (mRNA) that reenters the cytoplasm. Some copies of this mRNA are then translated by the normal machinery (e.g., ribosomes) of the host cell into protein products. Other copies of the RNA become incorporated into new virus particles.

The Rous sarcoma virus has only 4 genes (bottom panel):
  • gag, which encodes the capsid protein
  • pol, which encodes the reverse transcriptase
  • env, which encodes the envelope protein
  • src, which encodes a tyrosine kinase, an enzyme that attaches phosphate groups to Tyr residues on a variety of host cell proteins.

In addition, each end of the RNA molecule has a set of repeated sequences of nucleotides ("R" and "P") that perform at least two important functions:
  • they enable the DNA copies of RSV to insert into the host's DNA and
  • they act as enhancers, causing the host nucleus to transcribe the RSV genes at a rapid rate.

What makes RSV oncogenic?

The answer is src. The expression of this gene in some way — still only dimly understood — is able to transform cells in culture.
View transformed and normal cells in culture.
These diagrams show the effect of temperature on cells infected with RSV that is normal in every respect except that its src gene carries a mutation making it temperature-sensitive. (Actually, it is not the gene that is sensitive to temperature, but its protein product.)
  • At 35°C the protein encoded by src is active and the host cells transformed.
  • At 41°C the protein is denatured and the cells grow normally; that is, show contact inhibition, etc.
The process is reversible. The cells can be quickly and repeatedly switched from one state to the other simply by changing the temperature.
So the correct expression of a single gene, src, is all that it needed to transform these cells. (Even though able to grow normally in the absence of the Rous src protein, these cells were surely not "normal". Analysis of other tumors has repeatedly shown that it takes a number of mutations to convert truly-normal cells into transformed/cancerous ones. [Example])

c-src, a proto-oncogene

It is now clear that the seeds of cancer lie within us. The human genome probably contains more than a hundred genes that if mutated have, in one way or another, the potential to participate in causing the cell containing the mutation to become cancerous [Examples].
Because cancer represents a loss of control over mitosis, it is not surprising that in their normal state, many of these genes are involved in some aspect of mitosis.
These images provide powerful support for the idea that oncogenes are related to normal cellular genes.
The DNA copy that reverse transcriptase makes from RNA is called complementary DNA or cDNA.
When cDNA of src is made single-stranded and mixed with cellular DNA from normal chickens (also made single-stranded), the virus DNA finds complementary strands of cellular DNA and hybridizes to them. This shows that at least some of the genetic information in the retroviral oncogene src is also present in the normal genome of the host. It turns out, though, that the cellular gene — a proto-oncogene designated c-src — differs in two ways from the viral gene (which we now designate v-src):
  • Like, most eukaryotic genes, c-src is a split gene, containing multiple exons separated by introns; v-src is not split [View].
  • v-src genes always contain mutations that distinguish them from the c-src of the chicken.
The electron micrograph (courtesy of J. M. Bishop) shows the hybridization between single-stranded DNA from normal chicken cells and the single-stranded DNA of v-src. The graphic shows its interpretation. The loops represent introns in the cellular gene (the numbers correspond to those in the earlier figure).
It turns out that src-like genes are found throughout the animal kingdom, among vertebrates (ours is on chromosome 20 and is designated SRC) and invertebrates (e.g., Drosophila) alike. This tells us that src must be a very important gene that arose early in evolution and has been retained with little change since.
Thus the term proto-oncogene should not imply that the normal function of the gene is a harmful one. For example, mice homozygous for a mutant allele of the proto-oncogene c-abl have a variety of abnormalities and die within a week or two of birth. Whatever the c-abl product (also a tyrosine kinase) is doing, clearly it is essential to life.
The src gene is not necessary for the survival of RSV. RSV particles can be isolated that have only the gag, pol, and env genes [middle figure above]. These have perfectly normal life cycles (but cannot transform their host). So how and why did RSV acquire its src gene?

How?

  • Whenever the DNA of RSV happens to insert itself near the cellular c-src gene of its host, RNA polymerase II might occasionally read past the end of the env gene and transcribe the c-src gene as well.
  • The c-src introns would be removed by normal RNA processing, producing a mRNA encoding the four genes.
  • This would then slip into one of the virus particles being assembled.
So RSV has stolen a gene from its host.
One further step remains before RSV can become oncogenic: certain mutations in src.
Reverse transcriptase lacks the proofreading abilities found in normal DNA synthesis so errors (= mutations) in v-src can easily accumulate.

Why?

RSV, like all viruses, requires host cells in order to complete its life cycle. It is easy to see that a virus that has added v-src to its genome will have a strong advantage over those that have not. By stimulating uncontrolled mitosis in its host, it provides a growing population of cells available for fresh infection.

The sequel

In 1956, 55 years after his discovery of RSV, Peyton Rous was awarded a Nobel Prize in recognition of the key role that the virus has played in unlocking the secrets of cancer. Rous was 87 at the time and fortunate to have lived to see his work honored. (Nobel Prizes are given only to living scientists.)

Thursday, 12 March 2015

FLOUR ALBUS (LEUKOREA)

PENDAHULUAN
Leukorea (white discharge, fluor albus, keputihan) adalah nama gejala yang diberikan kepada cairan yang dikeluarkan dari alat-alat genital yang tidak berupa darah. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolin. Selain itu sekret vagina juga disebabkan karena aktivitas bakteri yang hidup pada vagina yang normal. Pada perempuan, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai pelicin dan pertahanan dari berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh atau berwarna kekuningan ketika mengering pada pakaian. Sekret ini non-irritan, tidak mengganggu, tidak terdapat darah, dan memiliki pH 3,5-4,5. Flora normal vagina meliputi Corinebacterium, Bacteroides, Peptostreptococcus, Gardnerella, Mobiluncuc, Mycoplasma dan Candida spp. Lingkungan dengan pH asam memberikan fungsi perlindungan yang dihasilkan oleh lactobacilli.(1,2)
Leukorea merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada penderita ginekologik, adanya gejala ini diketahui penderita karena mengotori celananya. Dapat dibedakan antara leukorea yang fisiologik dan yang patologik. Leukorea fisiologik terdiri atas cairan yang kadang-kadang berupa mukus yang mengandung banyak epitel dengan leukosit yang jarang sedang pada leukorea patologik terdapat banyak leukosit.(2)
Penyebab paling penting dari leukorea patologik ialah infeksi. Disini cairan mengandung banyak leukosit dan warnanya agak kekuning-kuningan sampai hijau, seringkali lebih kental dan berbau. Radang vulva, vagina, serviks dan kavum uteri dapat menyebabkan leukorea patologik; pada adneksitis gejala tersebut dapat pula timbul. Selanjutnya leukorea ditemukan pada neoplasma jinak atau ganas, apabila tumor itu dengan permukaannya untuk sebagian atau seluruhnya memasuki lumen saluran alat-alat genital.(2)
EPIDEMIOLOGI
Sekret vagina sering tampak sebagai suatu gejala genital. Proporsi perempuan yang mengalami flour albus bervariasi antara 1 -15% dan hampir seluruhnya memiliki aktifitas seksual yang aktif, tetapi jika merupakan suatu gejala penyakit dapat terjadi pada semua umur. Seringkali fluor albus merupakan indikasi suatu vaginitis, lebih jarang merupakan indikasi dari servisitis tetapi kadang kedua-duanya muncul bersamaan. Infeksi yang sering menyebabkan vaginitis adalah Trikomoniasis, Vaginosis bacterial, dan Kandidiasis. Sering penyebab noninfeksi dari vaginitis meliputi atrofi vagina, alergi atau iritasi bahan kimia. Servisitis sendiri disebabkan oleh Gonore dan Klamidia. Prevalensi dan penyebab vaginitis masih belum pasti karena sering didiagnosis dan diobati sendiri. Selain itu vaginitis seringkali asimptomatis dan dapat disebabkan lebih dari satu penyebab.(2)

ETIOLOGI
Fluor albus fisiologik pada perempuan normalnya hanya ditemukan pada daerah porsio vagina. Sekret patologik biasanya terdapat pada dinding lateral dan anterior vagina.(2)
Fluor albus fisiologik ditemukan pada :
a. Bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari: disini sebabnya ialah pengaruh estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin.
b. Waktu disekitar menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen. Leukore disini hilang sendiri akan tetapi dapat menimbulkan keresahan pada orang tuanya.
c. Wanita dewasa apabila ia dirangsang sebelum dan pada waktu koitus, disebabkan oleh pengeluaran transudasi dari dinding vagina.
d. Waktu disekitar ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri menjadi lebih encer.
e. Pengeluaran sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri juga bertambah pada wanita dengan penyakit menahun, dengan neurosis, dan pada wanita dengan ektropion porsionis uteri. (1)
Sedang fluor albus abnormal (patologik) disebabkan oleh (1)
1. Infeksi :
- Bakteri : Gardanerrella vaginalis, Chlamidia trachomatis, Neisseria gonorhoae, dan Gonococcus(2,3)
- Jamur : Candida albicans
- Protozoa : Trichomonas vaginalis
- Virus : Virus Herpes dan human papilloma virus
2. Iritasi :
- Sperma, pelicin, kondom
- Sabun cuci dan pelembut pakaian
- Deodorant dan sabun
- Cairan antiseptic untuk mandi.
- Pembersih vagina.
- Celana yang ketat dan tidak menyerap keringat
- Kertas tisu toilet yang berwarna.
3. Tumor atau jaringan abnormal lain
4. Fistula(3)
5. Benda asing(3)
6. Radiasi
7. Penyebab lain(3) :
- Psikologi : Volvovaginitis psikosomatik
- Tidak dikatehui : “ Desquamative inflammatory vaginitis”

PATOGENESIS
Meskipun banyak variasi warna, konsistensi, dan jumlah dari sekret vagina bisa dikatakan suatu yang normal, tetapi perubahan itu selalu diinterpretasikan penderita sebagai suatu infeksi, khususnya disebabkan oleh jamur. Beberapa perempuan pun mempunyai sekret vagina yang banyak sekali. Dalam kondisi normal, cairan yang keluar dari vagina mengandung sekret vagina, sel-sel vagina yang terlepas dan mucus serviks, yang akan bervariasi karena umur, siklus menstruasi, kehamilan, penggunaan pil KB.(2)
Lingkungan vagina yang normal ditandai adanya suatu hubungan yang dinamis antara Lactobacillus acidophilus dengan flora endogen lain, estrogen, glikogen, pH vagina dan hasil metabolit lain. Lactobacillus acidophilus menghasilkan endogen peroksida yang toksik terhadap bakteri pathogen. Karena aksi dari estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen, lactobacillus (Doderlein) dan produksi asam laktat yang menghasilkan pH vagina yang rendah sampai 3,8-4,5 dan pada level ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain.(2)
Kandidiasis vaginalis merupakan infeksi vagina yang disebabkan oleh Candida sp. terutama C. albicans. Infeksi Candida terjadi karena perubahan kondisi vagina. Sel ragi akan berkompetisi dengan flora normal sehingga terjadi kandidiasis. Hal-hal yang mempermudah pertumbuhan ragi adalah penggunaan antibiotik yang berspektrum luas, penggunaan kontrasepsi, kadar estrogen yang tinggi, kehamilan, diabetes yang tidak terkontrol, pemakaian pakaian ketat, pasangan seksual baru dan frekuensi seksual yang tinggi. Perubahan lingkungan vagina seperti peningkatan produksi glikogen saat kehamilan atau peningkatan hormon esterogen dan progesterone karena kontrasepsi oral menyebabkan perlekatan Candida albicans pada sel epitel vagina dan merupakan media bagi prtumbuhan jamur. Candida albicans berkembang dengan baik pada lingkungan pH 5-6,5. Perubahan ini bisa asimtomatis atau sampai sampai menimbulkan gejala infeksi. Penggunaan obat immunosupresan juga menajdi faktor predisposisi kandidiasis vaginalis. (4,5)
Pada penderita dengan Trikomoniasis, perubahan kadar estrogen dan progesterone menyebabkan peningkatan pH vagina dan kadar glikogen sehingga berpotensi bagi pertumbuhan dan virulensi dari Trichomonas vaginalis.(2)
Vaginitis sering disebabkan karena flora normal vagina berubah karena pengaruh bakteri patogen atau adanya perubahan dari lingkungan vagina sehingga bakteri patogen itu mengalami proliferasi. Antibiotik kontrasepsi, hubungan seksual, stres dan hormon dapat merubah lingkungan vagina tersebut dan memacu pertumbuhan bakteri patogen. Pada vaginosis bacterial, diyakini bahwa faktor-faktor itu dapat menurunkan jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh Lactobacillus acidophilus sehingga terjadi perubahan pH dan memacu pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis dan Mobiluncus yang normalnya dapat dihambat. Organisme ini menghasilkan produk metabolit misalnya amin, yang menaikkan pH vagina dan menyebabkan pelepasan sel-sel vagina. Amin juga merupakan penyebab timbulnya bau pada flour albus pada vaginosis bacterial.(2)
Flour albus mungkin juga didapati pada perempuan yang menderita tuberculosis, anemia, menstruasi, infestasi cacing yang berulang, juga pada perempuan dengan keadaan umum yang jelek , higiene yang buruk dan pada perempuan yang sering menggunakan pembersih vagina, disinfektan yang kuat.(2)

GEJALA KLINIS
Segala perubahan yang menyangkut warna dan jumlah dari sekret vagina meerupakan suatu tanda infeksi vagina. Infeksi vagina adalah sesuatu yang sering kali muncul dan sebagian besar perempuan pernah mengalaminya dan akan memberikan beberapa gejala fluor albus:1
- Keputihan yang disertai rasa gatal, ruam kulit dan nyeri.
- Sekret vagina yang bertambah banyak
- Rasa panas saat kencing
- Sekret vagina berwarna putih dan menggumpal
- Berwarna putih kerabu-abuan atau kuning dengan bau yang menusuk
Vaginosis bacterial Sekret vagina yang keruh, encer, putih abu-abu hingga kekuning-kuningan dengan bau busuk atau amis. Bau semakin bertambah setelah hubungan seksual
Trikomoniasis Sekret vagina biasanya sangat banyak kuning kehijauan, berbusa dan berbau amis.
Kandidiasis Sekret vagina menggumpal putih kental. Gatal dari sedang hingga berat dan rasa terbakar kemerahan dan bengkak didaerah genital Tidak ada komplikasi yang serius
Infeksi klamidia Biasanya tidak bergejala. Sekret vagina yang berwarna kuning seperti pus. Sering kencing dan terdapat perdarahan vagina yang abnormal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan :
- Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan biokimia dan urinalisis.
- Kultur urin untuk menyingkirkan infeksi bakteri pada traktus urinarius
- Sitologi vagina
- Kultur sekret vagina
- Radiologi untuk memeriksa uterus dan pelvis
- Ultrasonografi (USG) abdomen
- Vaginoskopi
- Sitologi dan biopsy jaringan abnormal
- Tes serologis untuk Brucellosis dan herpes
- Pemeriksaan PH vagina.
- Penilaian swab untuk pemeriksaan dengan larutan garam fisiologis dan KOH 10 % .
- Pulasan dengan pewarnaan gram .
- Pap smear.
- Biopsi.
- Test biru metilen.(1,3)

DIAGNOSIS
Diagnosis fluor albus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang.
- Anamnesis(3)
Ditanyakan mengenai usia, metode kontrasepsi yang dipakai oleh akseptor KB kontak seksual, perilaku, jumlah, bau dan warna leukore, masa inkubasi, penyakit yang diderita, penggunaan obat antibiotik atau kortikosteroid dan keluhan-keluhan lain
- Pemeriksaan Fisis dan Genital (7)
Inspeksi Kulit perut bawah, rambut pubis, terutama perineum, dan anus. Inspeksi dan palpasi genitalia eksterna. Pemeriksaan spekulum untuk vagina dan serviks, pemeriksaan bimanual pelvis, palpasi kelenjar getah bening dan femoral.
- Laboratorium (7)
Hasil pengukuran pH cairan vagina dapat ditentukan dengan kertas pengukur pH dan pH diatas 4,5 sering disebabkan oleh trichomoniasis tetapi tidak cukup spesifik. Cairan juga dapat diperiksa dengan melarutkan sampel dengan 2 tetes larutan normal saline 0,9% diatas objek glass dan sampel kedua di larutkan dalam KOH 10%. Penutup objek glass ditutup dan diperiksa dibawah mikroskop. Sel ragi atau pseudohyphae dari candida lebih mudah didapatkan pada preparat KOH. Namun kultur T. vaginalis lebih sensitive disbanding pemeriksaan mikroskopik.
Secara klinik, untuk menegakkan diagnosis vaginosis bakterial harus ada tiga dari empat kriteria sebagai berikut, yaitu: (1) adanya sel clue pada pemeriksaan mikroskopik sediaan basah, (2) adanya bau amis setelah penetesan KOH 10% pada cairan vagina, (3) duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu, (4) pH vagina lebih dari 4.5 dengan menggunakan nitrazine paper.

PENATALAKSANAAN
Untuk menghindari komplikasi yang serius dari keputihan (fluor albus), sebaiknya penatalaksanaan dilakukan sedini mungkin sekaligus untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab lain seperti kanker leher rahim yang juga memberikan gejala keputihan berupa sekret encer, berwarna merah muda, coklat mengandung darah atau hitam serta berbau busuk.(8)
Penatalaksanan keputihan tergantung dari penyebab infeksi seperti jamur, bakteri atau parasit. Umumnya diberikan obat-obatan untuk mengatasi keluhan dan menghentikan proses infeksi sesuai dengan penyebabnya. Obat-obatan yang digunakan dalam mengatasi keputihan biasanya berasal dari golongan flukonazol untuk mengatasi infeksi candida dan golongan metronidazol untuk mengatasi infeksi bakteri dan parasit. Sediaan obat dapat berupa sediaan oral (tablet, kapsul), topikal seperti krem yang dioleskan dan uvula yang dimasukkan langsung ke dalam liang vagina. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual, terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan untuk tidak berhubungan seksual selama masih dalam pengobatan. Selain itu, dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan daerah intim sebagai tindakan pencegahan sekaligus mencegah berulangnya keputihan yaitu dengan :
1. Pola hidup sehat yaitu diet yang seimbang, olah raga rutin, istirahat cukup, hindari rokok dan alkohol serta hindari stres berkepanjangan.
2. Setia kepada pasangan. Hindari promiskuitas atau gunakan kondom untuk mencegah penularan penyakit menular seksual.
3. Selalu menjaga kebersihan daerah pribadi dengan menjaganya agar tetap kering dan tidak lembab misalnya dengan menggunakan celana dengan bahan yang menyerap keringat, hindari pemakaian celana terlalu ketat. Biasakan untuk mengganti pembalut, pantyliner pada waktunya untuk mencegah bakteri berkembang biak.
4. Biasakan membasuh dengan cara yang benar tiap kali buang air yaitu dari arah depan ke belakang.
5. Penggunaan cairan pembersih vagina sebaiknya tidak berlebihan karena dapat mematikan flora normal vagina. Jika perlu, lakukan konsultasi medis dahulu sebelum menggunakan cairan pembersih vagina.
6. Hindari penggunaan bedak talkum, tissue atau sabun dengan pewangi pada daerah vagina karena dapat menyebabkan iritasi.
7. Hindari pemakaian barang-barang yang memudahkan penularan seperti meminjam perlengkapan mandi dsb. Sedapat mungkin tidak duduk di atas kloset di WC umum atau biasakan mengelap dudukan kloset sebelum menggunakannya.(8)
Tujuan pengobatan
- Menghilangkan gejala
- Memberantas penyebabrnya
- Mencegah terjadinya infeksi ulang
- Pasangan diikutkan dalam pengobatan
Fisiologis : tidak ada pengobatan khusus, penderita diberi penerangan untuk menghilangkan kecemasannya.
Patologi : Tergantung penyebabnya
Berikut ini adalah pengobatan dari penyebab paling sering :
1. Candida albicans (3)
Topikal
- Nistatin tablet vagina 2 x sehari selama 2 minggu
- Klotrimazol 1% vaginal krim 1 x sehari selama 7 hari
- Mikonazol nitrat 2% 1 x ssehari selama 7 – 14 hari
Sistemik
- Nistatin tablet 4 x 1 tablet selama 14 hari
- Ketokonazol oral 2 x 200 mg selama 7 hari
- Nimorazol 2 gram dosis tunggal
- Ornidazol 1,5 gram dosis tunggal
Pasangan seksual dibawa dalam pengobatan
2. Chlamidia trachomatis
- Metronidazole 600 mg/hari 4-7 hari (Illustrated of textbook gynecology)
- Tetrasiklin 4 x 500mg selama 10-14 hari oral
- Eritromisin 4 x 500 mg oral selama 10-14 hari bila
- Minosiklin dosis 1200mg di lanjutkan 2 x 100 mg/hari selama 14hari
- Doksisiklin 2 x 200 mg/hari selama 14 hari
- Kotrimoksazole sama dengan dosis minosiklin 2 x 2 tablet/hari selama 10 hari
3. Gardnerella vaginalis
- Metronidazole 2 x 500 mg
- Metronidazole 2 gram dosis tunggal
- Ampisillin 4 x 500 mg oral sehari selama 7 hari
- Pasangan seksual diikutkan dalam pengobatan
4. Neisseria gonorhoeae
- Penicillin prokain 4,8 juta unit im atau
- Amoksisiklin 3 gr im
- Ampisiillin 3,5 gram im atau
Ditambah :
- Doksisiklin 2 x 100mg oral selama 7 hari atau
- Tetrasiklin 4 x 500 mg oral selama 7 hari
- Eritromisin 4 x 500 mg oral selama 7 hari
- Tiamfenikol 3,5 gram oral
- Kanamisin 2 gram im
- Ofloksasin 400 mg/oral
Untuk Neisseria gonorhoeae penghasil Penisilinase
- Seftriaxon 250 mg im atau
- Spektinomisin 2 mg im atau
- Ciprofloksasin 500 mg oral
Ditambah
- Doksisiklin 2 x 100 mg selama 7 hari atau
- Tetrasiklin 4 x 500 mg oral selama 7 hari
- Eritromisin 4 x 500 mg oral selama 7 hari
5. Virus herpeks simpleks
Belum ada obat yang dapat memberikan kesembuhan secara tuntas
- Asiklovir krim dioleskan 4 x sehari
- Asiklovir 5 x 200 mg oral selama 5 hari
- Povidone iododine bisa digunakan untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder(8)
6. Penyebab lain :
Vulvovaginitis psikosomatik dengan pendekatan psikologi. Desquamative inflammatory vaginitis diberikan antibiotik, kortikosteroid dan estrogen.(3)

PROGNOSIS
Biasanya kondisi-kondisi yang menyebabkan fluor albus memberikan respon terhadap pengobatan dalam beberapa hari. Kadang-kadang infeksi akan berulang. Dengan perawatan kesehatan akan menentukan pengobatan yang lebih efektif(2)


DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro, H, Saifuddin, B, Rachimhadi, Trijatmo. Radang dan Beberapa penyakit lain pada alat genital wanita in Ilmu Kandungan. 1999. Edisi kedua , Cetakan Ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo : Jakarta
2. Amiruddin, D. Fluor Albus in Penyakit Menular Seksual. 2003.LKiS : Jogjakarta
3. Manoe, I.. M.S. M, Rauf, S, Usmany,H. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi. 1999. Bagian/SMF Obstetri dn Ginekologi Fakultas Kedokteran Unhas RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo : Ujung pandang
4. Anindita, Wiki. Santi Martini. 2006. Faktor Resiko Kejadian Kandidiasis vaginalis pada akseptor KB. Fakultas Kesehatan Masyarakat. UNAIR. Surabaya.
5. Jarvis G.J. The management of gynaecological infections in Obstetric and Gynaecology A Critical Approach to the Clinical Problems. 1994. Oxford University Press : Oxford
6. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri, R, Wardhani,W.I, Setiowulan, W. Keputihan In. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. 2001. Media Aesculapius : Jakarta
7. www.google.com. Search : Vaginal discharge, candida albicans. Available at feb 7, 2008
8. www.medikaholistik.com. Search : Vaginitis. Available at feb 7, 2008.
Penelitian Parasit dan Bakteri pada Akseptor KB dan Ibu Hamil yang Menderita Flour Albus

Saturday, 7 March 2015

Bacteria

Bacteria



Content Cover Image

Introduction

Bacteria are any of a very large group of single-celled microorganisms that display a wide range of metabolic types, geometric shapes and environmental habitats—and niches—of occurrence.  Normally only several micrometers in length, bacteria assume the form of  spheres, rods, spirals and other shapes. Bacteria are found in a very broad gamut of habitats; for example, bacterial extremophiles that thrive in such places as hot springs, arctic environments, radioactive waste, deep sea oil seeps, deep Earth crustal environments, hypersaline ponds and within other living organisms. There are approximately 50 million bacterial organisms in a single gram of typical surface soil. The worldwide bacterial biomass exceeds that of all plants and animals on Earth. However, the majority of bacteria have not yet been characterised,

Taxonomy

Bacteria are members of the prokaryote group. In contrast to eukaryote cells, bacteria lack a cell nucleus and customarily have no organelles. The bacteria domain can be grouped into two major categories: (a) Eubacteria and (b) Cyanobacteria. The latter group has historically been termed blue-green algae, but modern cladistics classifies these as bacteria. Presently the bacteria are considered composed of five discrete clades, or unique phylogenetic trees, each having a unique common ancestor. While there are a number of recognized phyla, the dominant ones are Proteobacteria, Firmacutes, Actinobacteria.

Proteobacteria

This major phylum incorporates a gamut of pathogens, such as Escherichia, Salmonella, Vibrio, Helicobacter, and numerous other genera. Some other proteobacteria are free-living, and include many of the species responsible for fixing nitrogen. Many move about using flagellae, but some are non-motile or rely on bacterial gliding. The latter include myxobacteria, a unique group of bacteria that can aggregate to form multicellular fruiting bodies.
A wide variety of metabolic types reside within proteobacteria. Most species are facultatively or obligately anaerobic, chemoautotrophs, and heterotrophic, but there are many exceptions. Numerous genera, which are not closely related to each other, convert energy from light through photosynthesis. These are termed purple, in referernce to their generally reddish pigmentation.

Firmacutes

This phylum has species that exhibit rounded or rod shaped cells, all of which test gram positive, e.g. have high levels of peptidoglycan. Many firmacute species can enter an endospore phase, representing a desiccated non-reproductive state. These lifeforms are most often extremophiles that can survive temperature, radiation or other extreme abiotic conditions. They are able to persist in these dormant forms for very long times and are resistant to environmental degradation.

Actinobacteria

caption Actinomyces israelii bacteria with scanning
electon false color micrograph.
This gram positive phylum has widespread occurrence in soils, freshwater and marine ecosystems. Many of the species in the phylum are key decomposers of organic detritus, and thus have an important role in the carbon cycle. Some of the species of Actinobacteria are pathogens and inhabit plant or animal hosts. Most of the phylum are aerobic species, but some are capable of metaboizing in oxygen deprived environments. This phylum often exhibits a filamentous branched structure as in the case of Actinomyces israelii. The organism believed to be the oldest living creature is a species within the Actinobacteria found in Siberia, that is thought to date to about 500,000 years before present.

Bacteroidetes

This widely occurring phylum is found in soils, sediment, animal guts and animal oral cavities. Bacteroidtes are known to inhabit the deserts of Antarctica. Some species are known for their robustness as decomposers notably of chitin and polymeric carbon, such as insoluble forms present in fungal cell walls; such strong decomposition capabilities make the Bacteroidetes instrumental in the carbon cycle and contribute to the ability to restore nutrient poor soils. The Bacteroidetes represent a phenotypically diverse set of organisms, whose geometric forms are frequently rod or curved shaped. In some cases the genera may be variously photosynthetic, non-motile or gliding, but they are generally gram-negative. Certain species are known to be invertbrate symbionts.

Cellular structure and metabolism

Bacterial cells, lacking a nucleus and organelles, are capable of rapid division; their cell division is by binary fission and may occur approximately every twenty minutes. As with the other prokayotes, cell structures are markedly simpler than eukaryotes; correspondingly bacterial DNA is not associated with histones. Like other prokaryotes, the DNA is not enclosed in a nuclear membrane, but resides in a nuclear region of the cell. The chemistry of the bacterial cell wall is unique, and very often contains peptidoglycan.

Early life history

Ancestors of extant bacteria are thought to be unicellular organisms, possibly the first lifeforms of the planet Earth, appearing approximately 3.5 billion years before present. Some of the earliest evidence of bacteria is in Onverwact  shales of South Africa. Scientists regard the emergence of bacteria is one of the most astounding events in Earth history, since there are no other proto-lifeforms of their complexity that previously were known to exist on Earth. How and where bacteria developed is one of the great mysteries of science. Bacterial micro-organisms likely diverged from archaea around about 3.2 to 2.5 billion years before present, with their common ancestor possibly a hyperthermophile, e.g. a creature capable of surviving unusually high thermal regimes.
One early bacterium, Kakabekia umbellata, has been determined to have existed in disparate locales including North Wales, Alaska and Iceland; the fact that this set of occurrences all share soils that are ammonia rich has prompted speculation that this bacterium derived from an era when the Earth's environment was rich in ammonia.
Until approximately one billion years before present, in fact, Earth's lifeforms were dominated by microscopic creatures such as bacteria, viruses and archaea.

Occurrence and function

Bacteria occur in almost any man-made or natural environment, including in soils, water and the atmosphere, as well as on and inside of living organisms. In fact, many bacteria species are extremophiles, which are adapted variously to extreme temperature, pressure, pH, salinity and other abiotic factors. The family Thermaceae is comprised by a number of thermophilic genera, including Thermus, Meiothermus, Marinithermus, Vulcanithermus, Oceanithermus and Truepera.
Bacterial members of genus Deinococcus are highly resistent to extreme doses of ionising radiation. In fact, some bacterial species within each phyllum are some type of extremophile, and in some cases a given bacterium may be an extremophile with respect to two or more abiotic parameters.
Bacterial organisms are key in recycling nutrients, with many aspects of nutrient cycles depending on bacterial metabolism, such as nitrogen fixation from the Earth's atmosphere and putrefaction.

Anaerobic bacteria

See main article: Anaerobic bacteria
Anaerobic bacteria are microorganisms that thrive in the absence of oxygen; in fact numerous anaerobes cannot survive in the presence of oxygen. Araerobic metabolism typically involves inorganic/organic redox reactions, including anaerobic respiration and fermentation reactions, producing volatile fatty acids and gaseous molecules, such as methane. Anaerobic bacteria are also involved in the digestion process of grazing animals.

History of bacterial research

Van Leeuwenhoek was the first scientist to observe a bacterium directly; in the year 1676 he employed a single lens microscope of his own development. It was not until the 1860s and 1870s that Louis Pateur, Robert Koch and Joseph Lister advanced the state of bacteriology by analyzing the phenomenology of bacterial action on food spoilage.
caption An erlenmeyer containing a bacterial culture. (By Kjaergaard at en.wikipedia [Public domain], via Wikimedia Commons)

Governmental characterization

Governmental agencies are chiefly interested in bacteria from the standpoint of disease transmission and food safety. In some cases these agencies also sponsor basic research on taxonomy, evolution, metabolism and other fundamental areas of taxa investigation.

U.S. Department of Agriculture

caption Illustration of a bacterium. Source: NIH
The U.S. Department of Agriculture's Food Safety and Inspection Service characterizes Bacteria as living single-cell organisms. Bacteria can be transported by water, wind, insects, plants and animals (including people); moreover, bacteria generally survive well on skin and clothes and animal hair. They also thrive in scabs, scars, the mouth, nose, throat, intestines and room-temperature foods.
Numerous strains of bacteria are correctly depicted as the causes of many human and animal diseases, but there are many bacterial types which are beneficial for all types of living matter.



National Institute of Allergy and Infectious Diseases 

caption Scanning electron micrograph of a number of Gram-negative Escherichia coli bacteria of the strain O157:H7. Source: CDC
The National Institutes of Health's National Institute of Allergy and Infectious Diseases characterizes Bacteria as living things that have only one cell. Under a microscope, they look like balls, rods or spirals. They are so small that a line of 1000 could fit across a pencil eraser. Most bacteria won't harm you – less than one percent of bacterial species cause illness. Many types are actually beneficial. Some bacteria assist in food digestion, destroying disease-causing cells and providing the body needed vitamins. Bacteria are also used in making healthy foods like yogurt and cheese. However, infectious bacteria cause illness or death. They reproduce quickly in your body. Many emit chemicals called toxins, which can damage tissue and induce sickness. Examples of bacteria that cause infections include Streptococcus, Staphylococcus, and E. coli.
Antibiotics are the customary treatment for bacterial infection. It is important to take antibiotics in exactly the manner prescribed by a physician. Each time you take antibiotics, you increase the chances that bacteria in your body will learn to resist them. Later, you could get or spread an infection that those antibiotics cannot cure. 

References

  • J.K.Fredrickson, J.M.Zachara, C.L.Balkwill et al. 2004. Geomicrobiology of high-level nuclear waste-contaminated vadose sediments at the Hanford site, Washington state. Applied and Environmental Microbiology. vol.70, issue 7, pp 4230–41
  • Mayo Clinic. 2009. Germs: Understand and protect against bacteria, viruses and infection
  • National Institutes of Health. 2010.Microbes in Sickness and in Health
  • Bill Bryson. A short history of just about everything.
  • J.R.Brown and W.F.Doolittle. 1997. Archaea and the prokaryote-to-eukaryote transition. Microbiology and Molecular Biology Reviews vol. 61, issue 4, pp 456–502
  • H.Gutfreund. 1981. Biochemical evolution. Cambridge University Press. 368 pages ISBN: 9780521235495
  • Patricia Vickers Rich, Mildred Adams Fenton, Carroll Lane Fenton and Thomas Hewitt Rich. 1996. The fossil book: a record of prehistoric life. Courier Dover Publications. 740 pages
  • C.R.Woese, O.Kandler and M.L.Wheelis. 1990. Towards a natural system of organisms: proposal for the domains Archaea, Bacteria, and Eucarya Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, vol.87 issue 12 pages 4576–9
  • Fred A.Rainey and Aharon Oren. 2006. Extremophiles. Academic Press. 821 pages
  • Alan L. Gillen. 2007. The Genesis of Germs: The Origin of Diseases and the Coming Plagues. New Leaf Publishing Co., 192 pages
  • Philippe Sansonetti. 2010. Bacterial Virulence: Basic Principles, Models and Global Approaches. Wiley-VCH. 340 pages
  • Asim K.Bej and Ronald M.Atlas. 2009. Polar Microbiology: The Ecology, Diversity and Bioremediation Potential of Microorganisms in Extremely Cold Environments. CRC Press. 402 pages
  • Don J.Brenner, Noel R.Krieg, James T.Staley, George Garrity. 2005. Bergey's Manual of Systematic Bacteriology: Volume Two: The Proteobacteria. Springer-Verlag

Mengenal Virus, Viroid, dan Prion

Mari kita sedikit mengenal tentang virus, bagaimana aktivitasnya, dan penyakit yang disebabkannya. Kita juga akan belajar mengenai viroid dan prion. Viroid adalah molekul kecil RNA infektif yang “telanjang” seperti yang dimiliki oleh virus. Prion merupakan partikel protein yang menyebabkan infeksi.

VIRUS
Pada tahun 1889, ahli mikrobiologi Belanda bernama Martinus Beijerinck mengemukakan konsep virus berdasarkan studinya terhadap penyakit mosaik tembakau (Tobacco Mosaic Disease). Seorang pemenang nobel, Sir Peter Medawar, mengemukakan perasaan para ahli mikrobiologi mengenai virus dalam pernyataanya, “A virus is a piece of bad news wrapped in a protein.” Virus adalah potongan berita buruk yang terbungkus dalam protein.

V i r u s
Virus memiliki untaian asam nukleat yang terbungkus mantel protein, membuatnya sulit untuk dihancurkan. Mikroorganisme membutuhkan DNA dan RNA untuk bereproduksi. Sebuah virus tidak dapat membuat faktor pembawa sifat tanpa adanya inang, karena virus memiliki DNA atau RNA, tetapi tidak keduanya.
Virus (bahasa Latin dari ‘racun”) merupakan parasit obligat intraseluler yang hanya dapat bereplikasi di dalam sel inang yang hidup. Sekali masuk ke dalam sel inang hidup, virus ikut campur dalam metabolisme sel inang, membuat virus sulit untuk dikontrol secara kimiawi. Kamu tidak dapat membunuh virus dengan antibiotik. Obat yang digunakan untuk menghancurkan kemampuan replikasi virus pada sel inang dapat terlalu beracun dan berakibat negatif, bahkan bisa mengakibatkan kematian sel inang tersebut.
Sebelum virus memasuki sel, partikel virus bebas disebut virion. Virion tidak dapat tumbuh atau membawa fungsi biosintetis atau biokimia karena virion bersifat inert secara metabolis. Virus bukan merupakan sel. Ukurannya bervariasi dari 20 nanometer (virus polio) sampai 300 nanometer (virus smallpox) dan tidak dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop cahaya.
STRUKTUR VIRUS
Komponen utama virus adalah:
  • Inti asam nukleat: dapat berupa DNA atau RNA yang membawa informasi genetik (genome) virus. Genome RNA hanya dimiliki oleh virus.
  • Kapsid: merupakan mantel protein yang menyelubungi virus dan melindungi asam nukleat dari pengaruh lingkungan. Kapsid juga berperan dalam proses pengikatan virus kepada sel inang. Kapsid terdiri dari satu atau lebih protein unik untuk tiap jenis virus dan menentukan bentuk virus.
  • Dinding Luar: adalah lapisan terluar virus, berupa membran bilayer. Jika virus tidak memiliki dinding luar, maka disebut sebagai virus telanjang. Penyakit akibat virus telanjang misalnya chickenpox, penyakit ruam saraf, mononucleosis, dan herpes simplex. Faktor lingkungan yang dapat merusak dinding luar virus antara lain:
  • > Bertambahnya temperatur
    > Temperatur beku
    > pH di bawah 6 atau di atas 8
    > Larutan lipid
    > Beberapa disinfektan kimia (klorin, hidrogen peroksida, fenol)
VIROID
http://plantdepommedeterre.org/OLD/pages/maladies/img/virops1.jpg

Viroid penyebab "potato spindler tuber"
Pada tahun 1971, ahli patologi tumbuhan O. T. Diener menemukan partikel RNA infektif yang lebih kecil dari pada virus dan dapat menyebabkan peny
akit pada tumbuhan. Ia menamakannya viroid. Viroid menginfeksi tanaman kentang, menyebabkan umbi kentang menggelendong (spindle tuber disease).
Selain itu viroid juga dikenal menginfeksi chrysanthemum (sejenis tanaman bunga) dan menghambat pertumbuhan tanaman tersebut. Viroid juga menyebabkan kepucatan pada mentimun. Jutaan dolar hilang setiap tahun di ladang akibat aksi viroid.
Viroid mirip dengan virus, yaitu hanya mampu bereproduksi di dalam sel hidup sebagai partikel RNA. Akan tetapi, viroid berbeda dengan virus dimana setiap partikel RNA berisi RNA tunggal yang spesifik. Sebagai tambahan, viroid tidak mempunyai kapsid ataupun dinding luar.
PRION
Prion merupakan partikel infektif kecil yang berisi protein. Beberapa peneliti percaya bahwa prion berisi protein tanpa asam nukleat, karena prion terlalu kecil untuk menampung asam nukleat dan karena prion tidak dapat dirusak oleh agen pencerna asam nukleat.

Sketsa Prion
Penyakit karena prion yaitu transmissible spongiform encephalopathies (TSEs) merupakan penyakit neurologis yang progresif, berakibat fatal pada manusia dan hewan. Para peneliti percaya prion adalah penyebab penyakit Creutzfeldt-Jakob. Penyakit tersebut tergolong penyakit neurologis yang menyebabkan dementia progresif, pertama kali diobservasi oleh Hans Gerhard Creutzfeldt dan Alfon Maria Jakob pada tahun 1920. Pada tahun 1976, Carlton Gajdusek memenangkan hadiah Nobel atas kerjanya meneliti TSE Kuru. Penyakit Kuru memiliki karakteristik gangguan keseimbangan (ataxia incapacitation) yang progresif dan berakhir dengan kematian.
Pada tahun 1982, ahli neurobiologi Stanley Prusiner mengajukan pendapat tentang protein yang menyebabkan penyakit neurologis Scrapie, yang merupakan peristiwa degenerasi neural pada domba. Prusiner menamakan protein infektif ini prion. Prion juga menyebabkan penyakit neurologis lainnya seperti Kuru dan sindrom Gertsmann-Strausler-Sheinker.
Sampai saat ini para ilmuwan masih melakukan penelitian tentang prion untuk mempelajari asal mula prion dan bagaimana prion bereplikasi dan dapat menyebabkan penyakit.

Betsy, 2007. Microbiology Demystified, A Self-Teaching Guide. New York: McGraw-Hill